Januari 30, 2019

MEMBELAH MAMBERAMO DARI HULU KE HILIR ( BAG.1)



Petualangan Menembus Negeri  Lembah Sungai Part.2

MEMBELAH MAMBERAMO DARI HULU KE HILIR ( BAG.1) (Oleh : Febspiration)

Perjalanan kali ini dalam rangka kunjungan kerja namun saya sekalian menuliskan pengalaman saya dari sisi lain secara emosional bagaimana kampung-kampung yang saya kunjungi ini menggungah hati saya lewat perjalanan kali ini dan tentunya harus saya bagikan apalagi bagi mark yang ditag orang-orang bahwa ini adalah tempat yag berbahaya dst, saya katakan tidak juga kok. Berhubung saya menghitung ada 10 kampung yang saya kunjungi maka akan dibagi dalam 2 ( dua ) sesi. Selamat menikmati  
                             
Ø  DABRA
Kampung pertama yang menjadi start point perjalanan ini adalah Dabra. Terletak di sisi selatan Kabupaten Mamberamo Raya dan merupakan salah satu kampung/ desa dengan ciri kekotaan dan tentunya memiliki fasilitas bandara selain kasonaweja.
Pusat kota yang ramai ( untuk skala pedalaman yah ), ada pasar 2 kali seminggu, bangunan rumah rata-rata masih menggunakan kayu ( rumah papan) karena posisi yang dekat sekali dengan sungai ( kearifan lokal yah ini bukan karena tidak mampu membangun rumah dari batu tela ),lalu untuk skala pendatang ( orang dari luar papua ) cukup banyak disini untuk kepentingan berdagang terutama saudara-saudara kita yang berasal dari sulawesi. Untuk cuaca saya pastikan anda membutuhkan kipas angin yang besar di siang hari dan di malam hari kita diajak berperang melawan nyamuk mamberamo. Untuk air bersih bagi kebutuhan sehari-hari disini sangat teramat melimpah , jadi selagi ada di Dabra mandilah sesering mungkin karena kita tidak akan menemukan air sebersih ini di mamberamo karena posisinya pusat kotanya memang dekat dengan pegunungan dan untuk listrik masih bersumber dari genset yang dimilki oleh masing-masing rumah penduduk dan ini momen yang pas untuk mengisi daya segala macam alat elektronik terutama Handphone dan kamera anda.
Satu keunikan yang saya suka dari dabra adalah disini menyediakan fasilitas WI-FI  dengan sistem membeli  voucher  dan  tarifnya  per jam  seharga 30 ribu rupiah dan yang aneh adalah meskipun ada WI-FI disini tidak ada sinyal/ jaringan telepon  per desember 2018, hal ini memang masih menjadi misteri bagi saya sampai saat ini. Begitulah.. saya menikmati sekali kehidupan di dabra selama 2 malam saya disini, saya merasa cocok dan kulit saya sudah mulai penyesuaian dengan cuaca siangnya. Sungai yang mengalir ke Dabra adalah Sungai Tariku jadi belum merasakan “ sungai mamberamo” disini.. karena aliran sungai disini sangat tenang .

TIPS : Sebelum keluar dari Dabra sebaiknya mandi sebersih mungkin dan segala keperluan ke belakang silakan diselesaikan disini sebelum benar-benar menuju arah mamberamo.

( Suasana Sungai Tariku di siang hari dan tentunya berlimpah dengan ikaaaaaaaannnn )



                                              ( Kampung orang papasena di Dabra )

Ø  KALI DORMAN
Posisi sungai mamberamo yang berkelok-kelok banyak memiliki cabang anak sungai ke berbagai arah dan bisa bertemu kembali ke sungai besar lalu terpecah-pecah lagi begitu seterusnya , jadi kadang kita bisa tersesat di sungai ini. Well pada hari kedua kami sempat mengunjungi sebuah kali yang super duper jerrrnihhhhhh sekali , saya juga tidak percaya sampai lihat sendiri karena warna airnya berbeda 180 derajat dengan warna sungai yang saya tunjukkan di gambar sebelumnya hal ini dikarenakan lokasinya masih berada di areal hulu mamberamo sehingga melimpah dengan air bersih.  Untuk mencapai kali dorman dibutuhkan waktu sekitar 25-30 menit dari Dabra menggunakan speed boat dengan mesin 40 PK . Memasuki celah-celah alang-alang ( sejenis tebu air ) terlihat jelas perubahan warna air yang begitu jernih dan sangat segar dan tentunya bisa mandi disana tanpa khawatir ada buaya . Kali Dorman sangat berpotensi menjadi sumber air minum masyarakat sekitar hanya saja belum ada fasiltas yang menjangkau kesana.

Ø  MUARA PAKUJA

Hari Ke-3 kami melanjutkan perjalanan menuju salah satu tempat transit kami . kampung kecil di pinggiran sungai bernama Muara Pakuja, yang letaknya ada di pertigaan sungai  besar sebelum memasuki “ aliran mamberamo “ . Perjalanan dari Dabra – Pakuja membutuhkan waktu sekitar 4-5 Jam dengan Speed Boat , 2 mesin yang masing-masing berkapasitas 40 PK. Dari Dabra kami membawa satu orang tambahan di dalam tim kami, beliau bernama pak klemens merupakan salah satu pegawai kontrak dari kantor kami, beliau asli orang Dabra  dan manyebrangi mamberamo sudah menjadi makanan beliau sehingga kami aman .
Sebelum menginap kami meminta ijin kepada kepala desa setempat untuk numpang menginap di tempat warga selama 1 malam. Kami diberikan 1 pondok/ Bivak di pinggir sungai, cukup untuk kami berteduh malam ini. Bivak tanpa pintu dan jendela, bersatu dengan alam sudah menjadi kenikmatan sendiri dari pekerjaan ini.
Setelah sauna di selama 4,5 jam di sungai akhirnya kami tiba tepat jam 4 sore , setelah mendapatkan tempat istrihat untuk ber-delapan, langsung memasak air panas dengan air mamberamo yang jangan ditanya lagi seperti apa kualitasnya, kami harus beradaptasi dengan kondisi setempat bukan, dan dengan modal kayu api jadilah gelas-gelas berisi  kopi dan teh panas dan hujan yang menemani kami dan Saya paling menikmati sore di tempat ini, entah kenapa

TIPS : Di Muara Pakuja bisa mendapatkan sinyal telepon dengan cara menurunkan kualitas jaringan yaitu dari 4G/3G ke 2G.



(Matahari pagi muara pakuja menyambut keberangkatan kami menuju telaga korwate)

Ø  TELAGA KORWATE

Dari Muara Pakuja setelah menginap semalam di bivak, pagi-pagi sekali kami memutuskan untuk packing lagi dan berpindah menuju ke kwerba namun singgah sebentar ke telaga korwate untuk mengambil data. Kali ini kami menggunakan dua perahu yaitu 1 perahu speed boat yang mengangkut kami dari Dabra dan 1 lagi perahu kayu tanpa semang yang kami sewa dari salah satu penduduk muara pakuja untuk menemani kami memasuki telaga korwate nanti.
Sesuai dengan namanya , ini adalah telaga di dalam salah satu aliran anak sungai mamberamo, dan mengapa kami membawa dua perahu , karena untuk memasuki telaga ini hanya cukup dengan 1 perahu kayu ramping tanpa semang dan lebih efektif mengambil data karena jalannya lebih pelan menggunakan mesin 15 PK. Well, yah pertama kami memang menggunakan boat yang besar menyusuri sungai lalu ketika berada di persimpangan sungai untuk memasuki telaga, yah benar sekali kami harus mengganti perahu dengan cara mentransfer diri kami dan barang-barang di atas sungai. Jadi kami harus memindahkan diri kami masing-masing ke perahu kecil tesebut dimana memang tidak ada daratan di sekeliling kami yang memungkinkan untuk bersandar karena tentu saja kalaupun ada itu adalah tempat berjemur para buaya muara yang mungkin siap menyambut kami sebagai sarapan kalau kami nekat transfer di pinggiran rawa.

This is totally made me nerveous and panic at that time, but this is worth it.

( Posisi yang pas untuk menyeimbangkan diri , perahu sepanjang 5 meter ini memuat 11 orang di dalamnya, jadi bayangkan sendiri bagaimana harus cari posisi enak buat duduk selama 1 jam memasuki telaga )



( Resiko saat memasuki telaga saat musim hujan adalah banyaknya kayu dan pohon tumbang yang menyambut kami , inilah saat parang /golok diberdayakan)



( Ini ekspresi tidak saya buat-buat sih memang betulan gugup dan takut, kesalnya adalah malah tertangkap kamera teman dan Tentunya air mata saya sudah dipinggir-pinggir karena kalau saya jatuh, entahlah bagian mana yang siap disambut sama  buaya ).
kami tiba pukul 8 pagi  dan perjalanan kami dari titik transfer menuju telaga kurang lebih 1 jam perjalanan dan disambut dengan banyak kayu dan pohon tumbang. Tapi ini adalah salah satu highlight of the journey. Rasa takut saya seketika hilang karna kali ini saya terharu biru menyaksikan tempat yang memang layak disebut surga kecil yang jatuh ke bumi. Damai sekali, sangat damai disini .Tuhan , Terlalu Indah Mahakarya Mu

saya merasa begitu kecil di hadapan semesta alam ,  ada ratusan burung menari di atas kepala kami menyambut kedatangan tamu mereka pagi itu. Kalau pernah menonton Film Anaconda jaman tahun 90’an, well kira-kira seperti itulah gambaran memasuki wilayah telaga ini hanya tak ada Anaconda, tapi buaya dan jutaan ikan. Tentunya bagi para peneliti ini adalah surga , tak hentinya kamera terus berbunyi mengabadikan setiap momen . Kami beberapa kali sempat harus turun dan bertahan di atas potongan batang kayu karena perahu tidak mampu lewat jadi harus didorong, perjuangannya sangat besar untuk sampai ke telaga korwate, setelah melewati sungai kecil ini selama 50 menit, tiba-tiba di depan kami disambut sebuah telaga besar yang sangat-sangat indah.


(Penampakan telaga korwate )

Setibanya di pinggiran telaga kami langsung bergegas dengan tugas kami masing-masing selama kurang  lebih 2 jam, dan disini jangan ditanya berapa banyak nyamuk yang ada. Siapkan diri anda untuk diserang, dimana nyamuk menemukan kulit untuk di serang maka akan keluar dengan banyak bentolan di kulit, bahkan konon katanya saat kita sedang buang air besar pun mereka akan tetap ada disana menggangu ketentraman kita. Begitulah..

( Burung Kuntul Perak, tadinya banyak hanya ketika dengar suara mesin , malah terbang )

Setelah kami selesai melaksanakan tugas kami kembali ke titik transfer dan kembali pindah lagi ke boat yang lebih besar dan melanjutkan perjalanan kami ke kampung kwerba.Perjalanan ke Kwerba, Kasonaweja dan Burmeso akan lanjut di Part berikutnya. Terimakasih sudah dengan sangat baik dan sabar membaca sebagian kecil dan petualangan saya. Semoga bermanfaat atau setidaknya menghibur kalian . sampai ketemu di part berikutnya J



















1 komentar:

  1. Ini yg namanya panggilan Alam.. kerennya ❤ pliiissss buat vlog untuk yg bgniian krn membaca saja bkn semakin penasaran dan mauu lagiiii, mau tau lbh banyak 😁😉 semoga Tuhan selalu Melindungi dalam setiap tugas dan tanggungjawab supaya bisa terus menulis dan memberikan informasi dan jdi motivasi. 🌏🐾🙏

    BalasHapus