MEMBELAH MAMBERAMO DARI HULU KE HILIR
( BAG.1) (Oleh : Febspiration)
Perjalanan kali ini dalam
rangka kunjungan kerja namun saya sekalian menuliskan pengalaman saya dari sisi
lain secara emosional bagaimana kampung-kampung yang saya kunjungi ini
menggungah hati saya lewat perjalanan kali ini dan tentunya harus saya bagikan
apalagi bagi mark yang ditag orang-orang bahwa ini adalah tempat yag berbahaya
dst, saya katakan tidak juga kok. Berhubung saya menghitung ada 10 kampung yang
saya kunjungi maka akan dibagi dalam 2 ( dua ) sesi. Selamat menikmati
Ø DABRA
Kampung pertama yang
menjadi start point perjalanan ini adalah Dabra. Terletak di sisi selatan
Kabupaten Mamberamo Raya dan merupakan salah satu kampung/ desa dengan ciri
kekotaan dan tentunya memiliki fasilitas bandara selain kasonaweja.
Pusat kota yang ramai ( untuk skala pedalaman yah ), ada
pasar 2 kali seminggu, bangunan rumah rata-rata masih menggunakan kayu ( rumah
papan) karena posisi yang dekat sekali dengan sungai ( kearifan lokal yah ini
bukan karena tidak mampu membangun rumah dari batu tela ),lalu untuk skala
pendatang ( orang dari luar papua ) cukup banyak disini untuk kepentingan
berdagang terutama saudara-saudara kita yang berasal dari sulawesi. Untuk cuaca
saya pastikan anda membutuhkan kipas angin yang besar di siang hari dan di
malam hari kita diajak berperang melawan nyamuk mamberamo. Untuk air bersih
bagi kebutuhan sehari-hari disini sangat teramat melimpah , jadi selagi ada di
Dabra mandilah sesering mungkin karena kita tidak akan menemukan air sebersih
ini di mamberamo karena posisinya pusat kotanya memang dekat dengan pegunungan
dan untuk listrik masih bersumber dari genset yang dimilki oleh masing-masing
rumah penduduk dan ini momen yang pas untuk mengisi daya segala macam alat
elektronik terutama Handphone dan kamera anda.
Satu keunikan yang saya suka dari dabra adalah disini
menyediakan fasilitas WI-FI dengan
sistem membeli voucher dan
tarifnya per jam seharga 30 ribu rupiah dan yang aneh adalah
meskipun ada WI-FI disini tidak ada sinyal/ jaringan telepon per desember 2018, hal ini memang masih
menjadi misteri bagi saya sampai saat ini. Begitulah.. saya menikmati sekali
kehidupan di dabra selama 2 malam saya disini, saya merasa cocok dan kulit saya
sudah mulai penyesuaian dengan cuaca siangnya. Sungai yang mengalir ke Dabra
adalah Sungai Tariku jadi belum merasakan “ sungai mamberamo” disini.. karena
aliran sungai disini sangat tenang .
TIPS : Sebelum keluar dari Dabra sebaiknya mandi sebersih
mungkin dan segala keperluan ke belakang silakan diselesaikan disini sebelum
benar-benar menuju arah mamberamo.
( Kampung orang papasena di Dabra )
Ø KALI DORMAN
Posisi sungai mamberamo yang berkelok-kelok banyak memiliki
cabang anak sungai ke berbagai arah dan bisa bertemu kembali ke sungai besar
lalu terpecah-pecah lagi begitu seterusnya , jadi kadang kita bisa tersesat di
sungai ini. Well pada hari kedua kami sempat mengunjungi sebuah kali yang super
duper jerrrnihhhhhh sekali , saya juga tidak percaya sampai lihat sendiri
karena warna airnya berbeda 180 derajat dengan warna sungai yang saya tunjukkan
di gambar sebelumnya hal ini dikarenakan lokasinya masih berada di areal hulu
mamberamo sehingga melimpah dengan air bersih.
Untuk mencapai kali dorman dibutuhkan waktu sekitar 25-30 menit dari
Dabra menggunakan speed boat dengan mesin 40 PK . Memasuki celah-celah
alang-alang ( sejenis tebu air ) terlihat jelas perubahan warna air yang begitu
jernih dan sangat segar dan tentunya bisa mandi disana tanpa khawatir ada buaya
. Kali Dorman sangat berpotensi menjadi sumber air minum masyarakat sekitar
hanya saja belum ada fasiltas yang menjangkau kesana.
Ø MUARA PAKUJA
Hari Ke-3 kami melanjutkan perjalanan menuju salah satu
tempat transit kami . kampung kecil di pinggiran sungai bernama Muara Pakuja,
yang letaknya ada di pertigaan sungai
besar sebelum memasuki “ aliran mamberamo “ . Perjalanan dari Dabra –
Pakuja membutuhkan waktu sekitar 4-5 Jam dengan Speed Boat , 2 mesin yang
masing-masing berkapasitas 40 PK. Dari Dabra kami membawa satu orang tambahan
di dalam tim kami, beliau bernama pak klemens merupakan salah satu pegawai
kontrak dari kantor kami, beliau asli orang Dabra dan manyebrangi mamberamo sudah menjadi
makanan beliau sehingga kami aman .
Sebelum menginap kami meminta ijin kepada kepala desa
setempat untuk numpang menginap di tempat warga selama 1 malam. Kami diberikan
1 pondok/ Bivak di pinggir sungai, cukup untuk kami berteduh malam ini. Bivak
tanpa pintu dan jendela, bersatu dengan alam sudah menjadi kenikmatan sendiri
dari pekerjaan ini.
Setelah sauna di selama 4,5 jam di sungai akhirnya kami
tiba tepat jam 4 sore , setelah mendapatkan tempat istrihat untuk ber-delapan,
langsung memasak air panas dengan air mamberamo yang jangan ditanya lagi
seperti apa kualitasnya, kami harus beradaptasi dengan kondisi setempat bukan,
dan dengan modal kayu api jadilah gelas-gelas berisi kopi dan teh panas dan hujan yang menemani
kami dan Saya paling menikmati sore di tempat ini, entah kenapa
TIPS : Di Muara Pakuja bisa mendapatkan sinyal telepon
dengan cara menurunkan kualitas jaringan yaitu dari 4G/3G ke 2G.
(Matahari pagi muara pakuja menyambut keberangkatan kami
menuju telaga korwate)
Ø TELAGA KORWATE
Dari Muara Pakuja setelah menginap semalam di bivak,
pagi-pagi sekali kami memutuskan untuk packing lagi dan berpindah menuju ke
kwerba namun singgah sebentar ke telaga korwate untuk mengambil data. Kali ini
kami menggunakan dua perahu yaitu 1 perahu speed boat yang mengangkut kami dari
Dabra dan 1 lagi perahu kayu tanpa semang yang kami sewa dari salah satu
penduduk muara pakuja untuk menemani kami memasuki telaga korwate nanti.
Sesuai dengan namanya , ini adalah telaga di dalam salah
satu aliran anak sungai mamberamo, dan mengapa kami membawa dua perahu , karena
untuk memasuki telaga ini hanya cukup dengan 1 perahu kayu ramping tanpa semang
dan lebih efektif mengambil data karena jalannya lebih pelan menggunakan mesin
15 PK. Well, yah pertama kami memang menggunakan boat yang besar menyusuri
sungai lalu ketika berada di persimpangan sungai untuk memasuki telaga, yah
benar sekali kami harus mengganti perahu dengan cara mentransfer diri kami dan
barang-barang di atas sungai. Jadi kami harus memindahkan diri kami
masing-masing ke perahu kecil tesebut dimana memang tidak ada daratan di
sekeliling kami yang memungkinkan untuk bersandar karena tentu saja kalaupun
ada itu adalah tempat berjemur para buaya muara yang mungkin siap menyambut
kami sebagai sarapan kalau kami nekat transfer di pinggiran rawa.
This
is totally made me nerveous and panic at that time, but this is worth it.
( Posisi
yang pas untuk menyeimbangkan diri , perahu sepanjang 5 meter ini memuat 11
orang di dalamnya, jadi bayangkan sendiri bagaimana harus cari posisi enak buat
duduk selama 1 jam memasuki telaga )
(
Resiko saat memasuki telaga saat musim hujan adalah banyaknya kayu dan pohon
tumbang yang menyambut kami , inilah saat parang /golok diberdayakan)
( Ini ekspresi tidak saya buat-buat sih memang betulan
gugup dan takut, kesalnya adalah malah tertangkap kamera teman dan Tentunya air
mata saya sudah dipinggir-pinggir karena kalau saya jatuh, entahlah bagian mana
yang siap disambut sama buaya ).
kami tiba pukul 8 pagi dan perjalanan kami dari titik transfer menuju
telaga kurang lebih 1 jam perjalanan dan disambut dengan banyak kayu dan pohon
tumbang. Tapi ini adalah salah satu highlight of the journey. Rasa takut saya
seketika hilang karna kali ini saya terharu biru menyaksikan tempat yang memang
layak disebut surga kecil yang jatuh ke bumi. Damai sekali, sangat damai disini
.Tuhan , Terlalu Indah Mahakarya Mu
saya merasa begitu kecil di hadapan semesta alam , ada ratusan burung menari di atas kepala kami
menyambut kedatangan tamu mereka pagi itu. Kalau pernah menonton Film Anaconda
jaman tahun 90’an, well kira-kira seperti itulah gambaran memasuki wilayah
telaga ini hanya tak ada Anaconda, tapi buaya dan jutaan ikan. Tentunya bagi
para peneliti ini adalah surga , tak hentinya kamera terus berbunyi
mengabadikan setiap momen . Kami beberapa kali sempat harus turun dan bertahan
di atas potongan batang kayu karena perahu tidak mampu lewat jadi harus
didorong, perjuangannya sangat besar untuk sampai ke telaga korwate, setelah melewati
sungai kecil ini selama 50 menit, tiba-tiba di depan kami disambut sebuah telaga
besar yang sangat-sangat indah.
(Penampakan telaga korwate )
Setibanya di pinggiran telaga kami langsung bergegas dengan
tugas kami masing-masing selama kurang
lebih 2 jam, dan disini jangan ditanya berapa banyak nyamuk yang ada.
Siapkan diri anda untuk diserang, dimana nyamuk menemukan kulit untuk di serang
maka akan keluar dengan banyak bentolan di kulit, bahkan konon katanya saat
kita sedang buang air besar pun mereka akan tetap ada disana menggangu
ketentraman kita. Begitulah..
Setelah kami selesai melaksanakan tugas kami kembali ke
titik transfer dan kembali pindah lagi ke boat yang lebih besar dan melanjutkan
perjalanan kami ke kampung kwerba.Perjalanan ke Kwerba, Kasonaweja dan Burmeso
akan lanjut di Part berikutnya. Terimakasih sudah dengan sangat baik dan sabar
membaca sebagian kecil dan petualangan saya. Semoga bermanfaat atau setidaknya
menghibur kalian . sampai ketemu di part berikutnya J
Ini yg namanya panggilan Alam.. kerennya ❤ pliiissss buat vlog untuk yg bgniian krn membaca saja bkn semakin penasaran dan mauu lagiiii, mau tau lbh banyak 😁😉 semoga Tuhan selalu Melindungi dalam setiap tugas dan tanggungjawab supaya bisa terus menulis dan memberikan informasi dan jdi motivasi. 🌏🐾🙏
BalasHapus