SM.Pulau Komolom dan SM.Pulau Savan
Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Komolom pertama kali ditunjuk sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:891/Kpts-II/1999 Tanggal 19 Maret 1999 dengan luas ± 84.130,40 Ha, kemudian ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor.34/Menhut-II/2020 Tanggal 14 Januari 2010 dengan luas 64.445,57 Ha. Perjalanan dari Kimaam menuju Komolom membutuhkan waktu ± 2 – 3 Jam menggunakan speedboat dengan 2 mesin kapasitas 40 PK . Hanya terdapat 1 kampung di sisi paling selatan yaitu Kampung Komolom. Sebuah kampung yang berdiri karena dulunya merupakan salah satu camp tentara belanda pada zaman penjajahan dan 30 tahun terakhir berkembang menjadi kampung dan merupakan bagian dari Distrik Kimaam.
( Gambar.Dermaga Kampung komolom,fys2019) ( Gambar.Suasana Kampung Komolom sore hari,fys2019)
Dalam Perjalanan kesini kita akan menjumpai Barisan atau Formasi Hutan Mangrove Primer yang masih begitu alami dan tersusun rapi seolah-seolah ditanam oleh tangan manusia. Tipe Hutan Mangrove antara Pulau Komolom dan Pulau Savan kurang lebih sama hanya pulau komolom berpenghuni sedangkan pulau savan tidak berpenghuni. Kedua Wilayah ini. Tersebut menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang luarbiasa selain itu banyak satwa-satwa liar yang menghuni kawasan ini sehingga ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa.
Perjalanan menjelajah menuju kawasan kami mulai dengan memperhitungkan pasang surut dimana dari Kampung komolom kami harus bergegas saat matahari belum terbit karena air masih dalam kondisi pasang. Tim memutuskan untuk berangkat pukul 05.35 WIT Pagi karena ini adalah waktu yang tepat untuk keluar dengan boat dan jam yang tepat bagi satwa ( aves) untuk bermain di pepohonan dan hal ini membantu tim dalam melakukan survei. Tak terhitung banyaknya satwa yang kami temui dalam perjalanan memasuki Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Komolom. Ada satu hal unik yang menjadi kepercayaan pada masyarakat di Komolom yaitu setiap kali memasuki mata-mata sungai yang besar wajib memberikan “ Sasi” atau persembahan berupa Rokok Tembakau, Kapur, Pinang dan Gambir/Sirih dan dimasukkan ke dalam sungai sebelum memasuki kawasan. Hal ini bertujuan agar kita selamat saat masuk dan keluar dari kawasan pulau komolom. Sasi juga diberikan saat di tempat tersebut ada orang yang mati di sungai, para warga setempat ataupun pendatang dari luar kampung wajib memberikan persembahan tersebut baru bisa lewat. Setelah memberikan sasi di titik pertemuan 3 mata sungai kami bergegas memanfaatkan air yang masih pasang sekitar pukul 08.00 WIT dan masuk semakin dalam kawasan, Puluhan burung Pombo berkoloni terbang di antara pohon, ikan-ikan di sungai yang begitu melimpah bahkan melompat-lompat di atas air, Suara Burung Kakatua, Burung Nuri bersahut-sahutan, Semakin ke dalam anak sungai yang kami tempuh semakin sempit hanya selebar kurang lebih 2-3 meter saja, sehingga beberapa kali kami juga harus merunduk dan perahu kami berhenti sejenak karena bertabrakan dengan akar-akar rhizopora dan Nypah . Semakin ke tengah kawasan muncul lagi ekosistem baru habitat baru tutupan lahan, sejumlah pepohonan tinggi berbatang putih kecoklatan terkelupas dan daunnya seperti akasia, masyarakat di merauke menyebutnya Kayu Bus atau nama latin
( Melalueca-melaleuca) mendominasi area tersebut. Tidak ada orang lain disana hanya kami , serasa seperti wisata privat yang dikhususkan pemandangan terbaik dan memanjakan bagi mata dan hati kami di hari itu.
( Gambar. Kus-Kus di Kampung Komolom/Phalanger.sp,FYS2019)
Semakin menuju ke jam 11.00 wit Siang air mulai surut, sehingga kami harus bergegas menemukan tempat yang cukup kering bagi kami untuk turun dan mulai menjelajah. Karena kami pergi saat musim kemarau sehingga beberapa tanah rawa menjadi kering dan mempermudah kami untuk menemukan tempat berpijak dan beristirahat untuk makan siang. Setelah melakukan tugas kami,serasa wisata privat lagi karena salah satu driver speedboat kami bersama masyarakat lokal yang kami bawa mulai memancing di kali,ini pertama kalinnya saya melihat memancing di kali terlihat “ semudah” itu . Mereka hanya perlu memasang jaring dan dikaitkan di pohon lalu menunggu jaring tersebut terkoyak dan tidak sampai 1 Jam menunggu kami sudah mendapat 3 ( tiga) ekor ikan yang cukup besar untuk 1 tim makan bersama, segera tungku api dadakan kami buat dan mulai membakar ikan, dengan nasi dan beberapa lauk yang kami bawa, kami santap bersama dengan pemandangan yang begitu indah .
( Gambar.Saat air mulai surut menuju siang hari di SM.Pulau Komolom,FYS2019)
( Gambar. Makan siang bersama di hutan,FYS 2019) ( Gambar. Kuntul Perak/Egretta intermedi bermain di Pohon Bus- Tim survei BBSKDA Papua,2019 )
Setelah makan siang, kami harus menunggu air kembali pasang agar kami dapat keluar ke sungai besar untuk kembali ke kampung dan kami baru dapat keluar setelah pukul 03.30 WIT karena air baru masuk ke tengah pulau pada jam – jam tersebut.
SAVAN
Pulau savan atau sering dikenal orang lokal dengan sebutan Muara Savan, Pulau seluas 8.261,90 Ha sebenarnya terdiri dari 5 gugusan pulau kecil tak berpenghuni dan berhadapan langsung menuju laut arafura. Pulau-pulau itu adalah Pulau Mahnit, Pulau Satan dan pulau Siriwai. Kami datang tepat pukul 10.00 WIT saat air laut sedang surut dan itu menjadi kesempatan kami untuk segera menyandarkan perahu kami untuk menjelajah keanekaragaman hayati yang tersimpan disini. Saya begitu takjub karena terlalu indah. Tempat ini merupakan salah satu tempat pertukaran arus dari selat mariana dan laut arafura sehingga pada jam-jam tertentu saat air mulai pasang maka gelombangnya akan terasa sangat kencang. Pasir tempat saya berpijak pagi itu menjadi daratan di saat pagi dan tepat pukul 14.00 WIT siang akan kembali dipenuhi air pasang. Sehingga kami harus pintar-pintar menafaatkan waktu kami disini.
(Gambar. Penampakkan Pulau Savan ketika air laut surut )
Suasana yang begitu hening, hanya suara semilir angin bergesekan dengan batang Avicenia dan Bruguiera dengan tanah lumpur yang menyambut kedatangan kami di salah satu pulau paling selatan di Indonesia. Jajaran rapi susunan hutan mangrove disini seperti ditanam dan diatur.Tempat masih begitu perawan dan tidak banyak terjamah oleh tangan manusia sehingga kelestariannya sangat terjamin. Sesekali akan ada burung yang hinggap di sela-sela pepohonan menegur konsentrasi kami saat mengambil data .Banyak burung migran pada musim-musim tertentu dari Australia akan datang transit disini. Selain itu Terdapat 1 kampung di sisi utara pulau yaitu Tanjung Kumbis, beberapa masyarakat dari Komolom juga datang mendirikan Bivak untuk mencari di pulau ini.
( Gambar. Burung Kirik-Kirik Australia /Merops Ornatus – Sumber: Tim Survei BBKSDA Papua, 2019)
Suaka Margasatwa Pulau Pombo
Setelah puas mengitari 2 pulau di sisi selatan kami kembali ke Kimaam untuk beristirahat dan memulihkan tenaga kami sebelum kami ke pulau Pombo. Jarak dari Kimaam ke Pulau Pombo hanya sekitar 30 menit saja menggunakan speedboat. Pulau seluas 181.64 Ha berbentuk oval tak berpenghuni ini menyapa kami setibanya kami disana dan memutuskan menghabiskan sepanjang siang kami disini. Saya pribadi agak parno karena pemerintah kabupaten telah melepas beberapa puluh ular jenis patola papua di pulau ini pada Tahun 2015 yang lalu karena dianggap tidak berpenghuni, sehingga kami harus extra waspada saat mengambil data. Kekhawatiran saya sedikit buyar karena pemandangan yang ditawarkan kembali lagi kami berjumpa dengan Mangrove jenis Bruguiera, Soneratia, Rhizophora dan avicenia yang besarnya bukan main, beberapa kali jagal papua datang dan menyambut kehadiran kami yang duduk mengumpulkan data di sebuah bivak kecil di pinggir pulau. Pulau Pombo dinamakan Pombo karena banyaknya burung pombo dan burung migran pada musim tertentu akan datang dan singgah kesini, kemudian saat musim tertentu pulau ini juga menjadi tempat transit Rusa Timor untuk nantinya menyebrang lagi ke daratan yang lebih besar.
( Avicenia alba.sp)
Pulau Pombo merupakan salah satu tempat mencari masyarakat dari Pulau Kimaam dan juga Kampung Sabudom. Kesempatan tak kami lewatkan untuk berkunjung ke kampung sabudom sekaligus berinteraksi dengan masyarakat setempat. Mayoritas mata pencaharian masyarakat adalah bertani dan salah satu penyetok padi bagi Distrik Kimaam untuk seterusnya dikirim dan didistribusikan ke Kota Merauke.
( Kampung Sabudom, Distrik Kimaam, Tim Survei BBKSDA Papua, 2019